Kamis, 18 November 2010

Groupthink

Masih ingat peristiwa meledaknya pesawat ulang-alik Challenger sekitar 14 tahun silam? Banyak orang Amerika yang tidak bisa melupakan tragedi yang merenggut nyawa satu orang guru (Christa McAuliffe) dan enam awak pesawatnya (komandan misi Dick Scobee, pilot Mike Smith serta para astronot Ron McNair, Ellison Onizuka, Judy Resnik dan Greg Jarvis).
Sesungguhnya NASA bisa mencegah terjadinya peristiwa tragis apabila mereka mau mendengar keberatan Morton Thiokol (MT), perusahaan pembuat roket peluncuran Challenger. MT semula meminta keberangkatan Challenger ditunda setidaknya hingga siang hari ketika suhu udara berada di atas 53 derajat Fahrenheit untuk menghindari tidak berfungsinya O-rings (O-rings ini berfungsi menjaga agar gas panas di dalam roket peluncur tidak merembes ke luar).
Tapi apa lacur, George Hardy dan Larry Mulloy, dua orang petinggi NASA, ngotot untuk tetap meluncurkan Challenger karena ingin agar NASA tepat waktu di samping karena kebocoran O-rings pada suhu di bawah 53 derajat Fahrenheit hanya terjadi satu kali (Januari 1985). MT akhirnya ikut-ikutan menyetujui peluncuran tersebut sebab mereka tidak punya bukti empiris yang lebih kuat untuk menolak. Beberapa saat setelah diluncurkan pada tanggal 28 Januari 1986, Challenger pun meledak di udara disaksikan langsung oleh jutaan orang termasuk diri saya sendiri.
Hampir 20 tahun yang lalu, almarhum Irving Janis memperkenalkan suatu konsep yang disebut sebagai Groupthink, yaitu suatu pola pengambilan keputusan kelompok yang berpaling dari kenyataan. Groupthink inilah oleh banyak pihak dituding sebagai biang keladi meledaknya Challenger karena kelompok kerja (pokja) yang menangani peluncuran Challenger tampak mengabaikan kenyataan akan adanya kemungkinan kebocoran O-rings pada suhu di bawah 53 derajat Fahrenheit.
Mengapa suatu pokja bisa berpaling dari kenyataan ketika mengambil keputusan? Pertama: kenyataan tersebut tidak sesuai dengan skenario yang telah dibikin sebelumnya. Dalam kasus Challenger, kenyataan kebocoran O-rings dapat mengganggu skenario ketepatan jadwal peluncuran. Janis menyebut skenario sebagai ilusi para pengambil keputusan.
Beribu alasan yang bersifat ilmiah dikemukakan untuk membenarkan ilusi tadi (rasionalisasi). Skenario beserta alasan-alasannya juga bertindak sebagai ‘lembaga sensor’ terhadap berbagai alternatif keputusan yang tidak sejalan dengan ilusi para anggota pokja. Akibatnya seringkali mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan keputusan yang sangat terbatas, atau bahkan tanpa pilihan sama sekali seperti dalam kasus Challenger di atas.
Kedua: tekanan ke arah mayoritas dan/atau pemegang kekuasaan terbesar. Di sini ada kesan bahwa suara mayoritas dan/atau pemegang kekuasaan terbesar selalu benar, meski berlawanan dengan kenyataan. Segala macam cara digunakan untuk mewujudkan skenario mereka, mulai dari yang bersifat persuasif hingga yang bernada ancaman dan menjurus ke kekerasan fisik.
Loyalitas kepada pokja (baca: kepada mayoritas dan/atau pemegang kekuasaan terbesar) seringkali didengung-dengungkan. Barangsiapa yang menentang, dianggap tidak loyal dan oleh karenanya tidak layak untuk tetap berada di dalam pokja. Dalam kasus Challenger, pemegang kekuasaan terbesar adalah NASA karena MT hanyalah salah satu kontraktornya, dan ketepatan jadwal peluncuran jelas merupakan skenario NASA.
Kira-kira 3 tahun yang lalu SWA pernah menurunkan tulisan mengenai Paradoks Abilene (PA) yang dapat dikatakan sebagai salah satu gejala adanya Groupthink. Gejala lain yang serupa adalah Escalation of Commitment (EC), yaitu suatu kecenderungan untuk tetap berada di jalan yang salah karena sulit untuk kembali ke jalan yang benar. Kejadian ini menimpa Long Island Lighting Company (LILC) ketika membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan kapasitas 540 megawatt di Shoreham, sebuah kota kecil yang jaraknya 88 kilometer di sebelah timur Manhattan, New York, dari tahun 1966 hingga 1989.  
Meski nilai awal investasinya mencapai 65 juta dolar, manajemen LILC nekat menjalaninya karena mereka beranggapan bahwa PLTN nantinya mampu menghasilkan listrik dengan biaya murah dengan mengabaikan kenyataan adanya tentangan dari masyarakat New York yang masih takut akan bahaya kebocoran nuklir. Biaya pembangunan secara perlahan tapi pasti lalu membengkak menjadi 5 milyar dolar.
Manajemen LILC tidak punya pilihan lain kecuali melanjutkan pembangunannya agar uang jutaan dolar yang telah dikeluarkan sebelumnya tidak sia-sia. Ironisnya, setelah PLTN selesai dibangun, LILC tidak bisa mendayagunakannya sama sekali karena dikabulkannya tuntutan masyarakat oleh pemerintah negara bagian New York untuk tidak mengijinkan beroperasinya PLTN tersebut.
Kisah LILC di atas tidak lagi sekedar menunjukkan adanya Groupthink melainkan lebih jauh lagi: menunjukkan bahwa Groupthink yang satu bisa berlanjut dengan Groupthink-groupthink yang lain untuk kemudian berkembang menjadi EC sebab melibatkan jumlah uang yang tidak sedikit. Ditambah dengan ilusi untuk memiliki PLTN sendiri yang terus mengiang di telinga manajemen LILC, tentangan masyarakat yang semakin kuat pun tidak pernah mereka dengarkan. Akhir cerita LILC hanya memperjelas apa yang sudah jelas: ilusi akan tetap menjadi ilusi dan kenyataan adalah kenyataan, diabaikan atau tidak akan tetap terjadi.
Mengingat risiko besar yang harus ditanggung tidak hanya oleh organisasi tetapi juga oleh pemerintah dan masyarakat (dalam kasus Challenger, pemerintah federal AS dan MT harus membayar ganti rugi ke keluarga korban yang secara keseluruhan nilainya mencapai 1,5 milyar dolar), tidak ada jalan lain kecuali menghindari Groupthink. Bagaimana caranya?
Janis mengusulkan beberapa alternatif. Yang pertama adalah membudayakan perbedaan pendapat di dalam pokja. Sekompak apa pun para anggotanya, mereka harus terus didorong untuk tidak sekedar menyetujui pendapat dan pemikiran kawan-kawannya. Mereka perlu ‘dipaksa’ untuk melihat suatu pendapat atau pemikiran dari sisi yang berlawanan.
Untuk kasus LILC, umpamanya, sejumlah manajernya perlu ditugaskan meninjau usulan pembangunan PLTN dari sudut pandang masyarakat sekitar yang menentang proyek tersebut. Kedua opini yang berbeda itu lalu diperdebatkan secara terbuka sehingga semua anggota dapat menilai mana yang terbaik. Usulan pembangunan PLTN hanya dapat dikabulkan apabila mampu ‘mengalahkan’ argumentasi dari sisi publik.
Dalam hal tidak ada satu anggota pokja yang mau (mungkin karena rikuh) dan mampu menjadi oposan bagi teman-temannya sendiri, organisasi perlu membentuk pokja baru yang bertugas mengevaluasi secara kritis (critical evaluator) keputusan-keputusan yang akan diambil oleh pokja pertama. Kedua pokja ini perlu dipertemukan untuk memperdebatkan setiap usulan keputusan. Prosesnya serupa dengan alternatif terdahulu, hanya bedanya evaluasi kritis dilakukan oleh pokja lain (eksternal).
Perbedaan pendapat dapat pula ditumbuhkan dengan membentuk pokja yang para anggotanya memiliki latar belakang yang beraneka ragam, baik itu latar belakang demografis (seperti usia dan suku bangsa) maupun latar belakang tingkat pendidikan dan pengalaman kerjanya. Heterogenitas tersebut diharapkan mampu menciptakan pendapat dan pemikiran yang tidak serupa sehingga para anggota akan menjumpai banyak wacana untuk memperluas wawasan berpikir mereka dan dengan demikian, akan lebih kecil kemungkinan satu wacana mendominasi wacana-wacana yang lain.
Akhirnya, tidak boleh dilupakan pentingnya pokja memiliki anggota yang berani melawan arus (berani berkata ‘tidak’) untuk menghindarkan organisasi dari perangkap Groupthink, PA dan EC. Anggota yang oleh Jerry Harvey disebut sebagai Gunsmoke Phenomenon ini, haruslah seseorang yang disegani agar segala ucapannya diperhatikan oleh kawan-kawannya. Atau setidaknya ia memiliki kepribadian yang kuat dan pendirian yang kukuh untuk menangkal tekanan dan serangan dari para anggota pokja yang lain.

sumber :
Tulisan telah dimuat di Majalah SWA No. 02/2000.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar