Kamis, 18 November 2010

Group-think Theory On Group Communication

Teori groupthink dikembangkan oleh Irvin L. Janis dan teman-temannya yang diangkat dari sebuah pengujian secara mendetil mengenai efektifitas pengambilan keputusan dalam kelompok. Penekanan pemikiran kritis, Janis menunjukkan suatu kondisi yang membawa kepuasan kelompok yang tinggi namun hasil yang tidak efektif.
Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan suatu mode berpikir sekelompok orang yang sifatnya kohesif (terpadu) ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Dari sinilah groupthink didefinisikan sebagai suatu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok.
Groupthink didefinisikan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi mereka dalam menilai semua rencana tindakan yang ada. Kesepakatan antar anggota kelompok atau kesepakatan kelompok dalam keinginan mereka akan kekompakan dan kesepakatan serta mencapai sebuah tujuan atau keputusan lebih besar motivasinya dibandingkan menilai akan kebenaran keputusan tersebut terhadap moral dan etis kelompok yang berlaku.
Irving Janis berpendapat bahwa anggota-anggota kelompok seringkali terlibat di dalam sebuah gaya pertimbangan dimana sebuah kebutuhan semua orang untuk sepakat lebih berat dibandingkan akal sehat. Yaitu seperti jika kita di dalam sebuah kelompok, biasanya kita hanya berkeinginan untuk mencapai suatu tujuan itu lebih penting, dibanding menghasilkan solusi pemecahan masalah yang masuk akal.
Dalam hal teori groupthink ini, dapat ditemukan pada keputusan Presiden SBY menonaktifkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Keputusan Presiden SBY ini merupakan keputusan kelompok, dimana SBY sebagai pengambil keputusan tertinggi, tidak bisa melepaskan pengaruh kelompok lingkarannya dan juga Partai Demokrat. Terlepas keputusan ini adalah juga hasil dari tekanan kelompok diluar Partai Demokrat, seperti Partai Golkar, menyusul kasus Bail Out bank century yang kuat sekali tekanan politik terhadap posisi politik Presiden SBY sendiri.
Dalam hal ini Irving Janis memfokuskan penelitiannya pada Problem-Solving Group dan task-oriented group, yang mempunyai tujuan utamanya yaitu untuk mengambil keputusan dan memberikan rekomendasi kebijakan akan solusi-solusi yang ada. Berikut merupakan 3 asumsi penting dalam Groupthink Theory :
1. Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi.
2. Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang terpadu.
3. Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok seringkali bersifat kompleks.
Dalam penelitiannya, Janis menemukan pemikiran kelompok dapat menimbulkan sesuatu yang negatif karena:
1) Kelompok membatasi diskusi berdasarkan ide alternatif yang sudah ditentukan dan menutup kemungkinan atas ide kreatif lainnya. Sehingga keputusan kelompok yang diambil cenderung datar karena tidak ada penggalian ide yang mendalam.
2) Tidak adanya pengkajian ulang atas ide awal yang dikemukakan oleh segelintir individu pemilik power terbesar dalam kelompok.
3) Pengabaian pendapat minoritas.
4) Tidak melibatkan seorang pakar atau ahli bidang yang dibutuhkan dalam membuat atau pengambilan keputusan.
5) Memusatkan perhatian hanya pada informasi yang mendukung pengambilan keputusan.
6) Kelompok terlalu percaya diri pada keputusan yang dibuat sehingga tidak meyiapkan alternatif untuk menghadapi hal buruk yang mungkin terjadi.
Kasus Sri Mulyani dapat dengan terang menjelaskan asumsi-asumsi diatas, dimana, kohesivitas terjadi pada saat keputusan ini diambil. Terlihat bagaimana kader-kader Partai Demokrat mempertahankan keputusan itu secara bersama-sama dan solid pada setiap kesempatan berkomunikasi dengan publik dan media. Akibat dari diambilnya kebijakan tersebut oleh Presiden SBY, dan dilanjutkan dengan dibentuknya Sekretariat Bersama Partai-Partai Koalisi, dengan Ketua Hariannya adalah Aburizal Bakrie, semakin menguatkan opini pada publik, bahwa Sri Mulyani sengaja dikorbankan oleh Presiden SBY untuk mempertahankan stabilitas kekuasaan dan pemerintahannya dari tekanan oposisi dan Partai-Partai koalisi yang dalam kasus Century berbalik menekan dan bergabung dengan pihak oposisi. Hal ini semakin merendahkan wibawa Presiden RI dengan mengalah pada tekanan-tekanan politis yang dari sisi hukum positif belum tentu benar. Bahwa keputusan yang diambil tidaklah melalui pertimbangan ahli, mengabaikan pendapat kalangan perbankan dan moneter, dan juga bisa dianggap mengorbankan reformasi birokrasi didalam tubuh kementerian Keuangan yang sedang dijalankan dengan keras oleh Sri Mulyani. Bagaimana rasa keadilan publik menjadi terganggu, ketika seorang petinggi partai golkar mengatakan bahwa dengan mundurnya Sri Mulyani dan pembentukan Sekretariat Bersama ini, kasus century dapat dihentikan. Hal ini mendukung opini yang berkembang bahwa telah terjadi sebuah transaksi politik pada elit pimpinan negeri ini yang mengarah pada Kartel Politik, dimana pada Kartel Politik, yang dikorbankan adalah rakyat.
Secara teori, kesemuanya itu disebabkan kurangnya pemikiran kritis dalam kelompok yang kohesif dan kepercayaan diri yang berlebih dari kelompok. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala yaitu yang pertama adalah kekebalan ilusi (illusion of invulnerability) dimana menciptakan sebuah udara optimisme yang tidak semestinya. Yang kedua adalah kelompok menciptakan usaha kolektif untuk merasionalisasikan serangkaian tindakan yang telah ditetapkan. Ketiga adalah kelompok menjaga sebuah kepercayaan yang tidak terpatahkan dalam moralitas yang inherent, melihat dirinya sendiri yang termotivasi dan bekerja untuk hasil yang terbaik. Gejala yang keempat adalah pemimpin yang berasal dari luar kelompok di-stereotype-kan sebagai jahat, lemah, dan bodoh. Kelima adalah tekanan langsung mendesak anggota untuk tidak mengungkapkan pendapat yang berlawanan. Perselisihan akan cepat padam yang akan membawa pada gejala ke enam yaitu sensor diri (self cencorship) dari pertentangan, dimana anggota enggan bmenyampaikan pendapat yang berlawanan dan menekan mereka untuk mengambil posisi yang sama. Gejala yang ketujuh adalah adanya ilusi kesepakatan (ilusi unanimity) bersama dalam kelompok. Jika keputusan telah diambil maka muncul pemikiran waspada (mindguards) untuk melindungi kelompok dan pemimpin dari opini yang berlawanan dan informasi yang tidak diinginkan.
Pada akhirnya, berkaitan dengan kasus Sri Mulyani ini, gejala-gejala diatas dapat ditemukan secara jelas. Bagaimana Presiden SBY menebarkan optimisme yang dangkal, bahwa Sri Mulyani pergi ke World Bank adalah sebuah prestasi, padahal jabatan tersebut beberapa kali ditolak oleh Sri Mulyani. Kemudian, kelompok pendukung Presiden dan kader-kader Partai Demokrat juga memperkuat hal ini dalam setiap kesempatan komunikasi di media. Tidak adanya bocoran informasi dari dalam kelompok Presiden SBY dan kader partai. Kemudian juga, bagaimana dihembuskannya isu tentang Aburizal Bakrie, sebagai penyebab mundurnya Sri Mulyani, yang memang memiliki beberapa masalah dalam bidang keuangan dan kasus lapindo, dengan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Semua gejala tersebut sangat jelas dapat kita terjemahkan dari kasus tersebut.
Janis mengusulkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kritis groupthink, yakni:
1. Mendorong semua anggota kelompok untuk mengevaluasi secara kritis dalam setiap kegiatan pengambilan keputusan.
2. Pemimpin kelompok tidak menyatakan pendapatnya dimuka umum pada awal kegiatan sebelum pengambilan keputusan.
3. Menyusun pembuatan kebijakan kelompok yang independen dan bebas dari pengaruh dominasi segelintir individu.
4. Membagi dalam kelompok kecil
5. Berdiskusi dengan kelompok lain untuk mengumpulkan pendapat atau mendapatkan alternatif pemecahan masalah
6. Mengundang pihak lain (akademisi, peniliti atau konsultan) untuk mendapatkan ide-ide baru
7. Menghargai individu yang memiliki ide berbeda dengan anggota kelompok pada umumnya
8. Lebih peka terhadap lingkungan kelompok secara internal dan eksternal
9. Selalu mengevaluasi dan mengkaji kembali kebijakan yang akan dibuat, sebelum diambil keputusan akhir
Seharusnya, Presiden SBY bisa lebih arif dalam mengambil keputusan berkaitan dengan Sri Mulyani. Bahwa integritas Sri Mulyani, baik dalam hal kompetensi bidang moneter maupun pada profesionalitas profesi, sangat diakui didalam negeri maupun diluar negeri, yang seharusnya memberikan alasan untuk mempertahankan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Jika saja keputusan tersebut melibatkan lebih banyak orang, kader Partai Demokrat, ahli hukum, politik dan ekonomi, serta bisa lebih peka pada kondisi negara yang sangat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki profesionalitas dan integritas yang tinggi dan lebih menekankan pada kepentingan yang lebih besar daripada sekedar mempertahankan stabilitas kekuasaannya, mungkin tidak harus dengan mendorong Sri Mulyani menjadi pejabat di World Bank, tapi tetap memimpin Kementerian Keuangan dan melanjutkan reformasi Birokrasi pada institusi yang sangat penting bagi Republik Indonesia dan juga menjadi penentu dalam kemampuan finansial pemerintah dalam menjalankan roda kenegaraan.

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar